Segala Kebenaran Milik Tuhan

Love For All Hatred For None

Selasa, 23 September 2008

Rasulullah Sang Penegak Tauhid Sejati

Rasulullah Sang Penegak Tauhid Sejati
Allah telah membangkitkan Rasulullah saw di dunia untuk menegakkan tauhid-Nya yang murni. Mulai dari sejak kecil sedemikian rupa dari sisi-Nya Dia telah siapkan sehingga qalbu beliau Dia telah jadikan bersih, suci dan cemerlang. Mulai dari sejak kecil Dia telah menyemaikan di dalam diri beliau benih kecintaan kepada diri-Nya dan kebencian terhadap syirik.
Bahkan sebelum kelahiran beliau Dia telah memberitahukan kepada ibunda beliau prihal nur/cahaya yang akan tersebar ke seluruh dunia. Kemudian dunia menyaksikan bahwa bagaimana ru'ya yang ibunda Aminah telah saksikan itu telah menjadi terbukti kebenarannya.
Syariat sempurna Allah turun pada beliau tepat waktunya. Dan nur itu telah tersebar ke segenap penjuru di dunia. Sebuah gejolak kecintaan kepada Tuhan Yang Esa-lah yang telah merampas tidur nyenyak malam-malam beliau dan telah merampas ketenangan dan ketenteraman hari-hari beliau. Jika keresahan itu ada dalam diri beliau maka itu hanya satu, yaitu bagaimana dunia mulai menyembah Tuhan yang Esa, mulai mengenal akan Tuhan yang menciptakan mereka. Untuk menyampaikan amanat itu beliau harus menahan berbagai macam kesusahan dan menghadapi berbagai macam penderitaan. Tetapi kesusahan dan penderitaan tidak dapat mencegah beliau untuk beribadah dan menahan beliau untuk menyampaikan amanat Tuhan yang Esa.

Tugas untuk menjadikan orang-orang menjadi supaya beribadah kepada Allah yang Allah telah serahkan kepada beliau, itu sesudah turun perintah-perintah (Allah) kepada beliau, jelas beliau pasti akan kerjakan. tetapi, dari sejarah kita melihat bahwaa hati beliau dari sejak masih kanak-kanak telah bersih dari kemusyrikan dan telah menjadi kalbu yang tunduk kepada Tuhan yang Esa. Tuhan dari sejak kecil telah memurnikan hati itu untuk-Nya. Kapan saja pada saat masih masa kanak-kanak akibat tekanan siapapun yang besar dari antara mereka harus pergi ke acara yang berbau kemusyrikan maka Allah sendiri yang meyiapkan sarana untuk mencegah beliau dari itu, Allah sendiri yang menciptakan sarana untuk perlindungan beliau.

Terkait dengan ini, dalam buku sejarah tertera sebuah riwayat bahwa Ummu Aiman meriwayatkan bahwa " Bawwaanah" adalah merupakan tempat penyembahan berhala dimana orang-orang Quraisy biasa hadir disana dan mereka sangat memuliakannya dan mereka memberikan pengurbanan - pengurbanan disana, mencukur rambut dan dalam setahun mereka melakukan i'tikaf sehari sampai malam. Abu Talib juga dengan kaum beliau biasa berkunjung kesana dan kepada Rasulullah saw juga beliau katakan untuk pergi bersama-sama ( pada saat beliau masih kanak-kanak ) tetapi beliau (saw) menolak untuk pergi. Ummu Aiman menuturkan bahwa saya melihat Abu Talib dan bibi-bibi beliau pada satu kali sangat marah pada beliau dan mereka mengatakan," Kamu ini menghindar dari sembahan-sembahan kami, karena itu kami senantiasa khawatir berkenaan dengan dirimu dan mereka mengatakan, hai Muhammad ! (saw) apa yang engkau inginkan, kenapa engkau tidak hadir bersama kaummu dan kenapa kamu tidak berkumpul untuk itu? ". Akibat tekanan mereka yang terus menerus pada suatu saat beliau pergi, tetapi sebagaimana yang Allah kehendaki beliau kembali dari sana dalam keadaan sangat resah dan ketakutan. Maka kerabat dan famili beliau menanyakan pada beliau bahwa apa yang telah tearjadi. Beliau menjawab bahwa saya takut kalau syaitan menjamah saya. Maka mereka mengatakan bahwa Allah tidak akan menjerumuskan engkau dalam khayalan –khayalan syaitan dalam keadaan mana di dalam dirimu terdapat kebiasaan-kebiasaan yang baik. Apa yang engkau lihat, apa yang menyebabkan engkau merasa ketakutan ? Beliau bersabda bahwa begitu saya masuk mendekati sebuah patung maka seorang yang tinggi besar menjelma di hadapan saya dan mengatakan, hai Muhammad ! berhenti, jangan menyentuh itu. Ummu Aiman mengatakan, kemudian mereka pun tidak lagi menyuruh beliau untuk pergi hadir disana hingga beliau dianugerahi pangkat kenabian.( Siiratul halbiyyah jilid awwal bab ma hafidhahullah taala bihi fi shigarihi min ummihil jaahiliyyah ) Jadi, inilah persiapan-persiapan yang dengan perantaraan itu Allah melindungi hati yang bersih dan murni itu.

Tauhid di masa muda rasulullah saw


Kemudian, perhatikanlah masa muda beliau, bagaimana beliau biasa pergi ke sebuah goa untuk melakukan ibadah pada Tuhan yang Esa. Beliau melewati sampai beberapa hari di goa Hira. Dalam kesendiriannya beliau melakukan percakapan rahasia dengan Tuhan beliau dan melakukan ibadah pada-Nya. Melihat ini kaum beliau pun mengatakan bahwa Muhammad jatuh cinta pada Tuhan-nya.

Dalam kaitan ini Mirza Ghulam Ahmad mengatakan: " Rasulullah saw menjadi pecinta satu Wujud itu dan telah menjadi gila pada-Nya. Hasilnya dia mendapatkan yang tidak pernah didapatkan oleh siapapun di dunia. Beliau sedemikian rupa cintanya kepada Tuhan sehingga orang-awam pun mengatakan
عشق محمد على ربه –'asyiqa muhammadun 'ala rabbihi -Muhammad saw telah jatuh cinta pada Rabb-nya.


Kemudian perhatikanlah pada masa muda beliau satu contoh kebencian beliau pada berhala. Tatkala Rasulullah bersama Abu Talib berjumpa dengan seorang pendeta - Buhairah- pada saat perjalanan ke Syam, maka dia menanyakan, hai putra ningrat ! Saya menanyakan kepada engkau atas nama Lat dan Uzza, berilah jawaban kepada saya. Buhairah menanyakan menyebut nama berhala-berhala itu sebab inilah cara untuk menanyakan kepada orang-orang Quraisy ( Lat dan Uzza adalah berhala mereka yang paling besar) Maka Rasulullah saw dalam memberikan jawaban berkata bahwa janganlah menanyakan kepada saya dengan menyebut nama-nama berhala-berhala itu sebab saya sangat benci kepada keduanya. Sesudah itu Buhairah melanjutkan pembicaraannya dengan menyebut nama Allah. (Assiratunnabawiyyah liibni HisyamAl-ma'ruf sirat Ibni Hisyam Kisah Buhairi hal.145)

Kemudian tertera sebuah riwayat yang dari itu menjadi jelas kebencian beliau pada berhala, yang hanya dan hanya merupakan sebuah ungkapan beliau tetap hamba Allah. Kisahnya adalah demikian. Ibnu Umar r.a meriwayatkan bahwa sebelum turun wahyu kepada beliau beliau berjumpa dengan Zaid bin Umar. Maka makanan dihidangkan di hadapan Rasulullah saw. Beliau menolak untuk makan dari itu. Kemudian beliau mengatakan bahwa saya bukanlah orang yang makan dari apa yang kamu sembelih atas nama berhala. Dan saya tidak makan kecuali yang disembelih atas nama Allah (Bukhari kitabul manaaqib bab hadiitsu Zaidibni Umar bin Naqil) . Beliau menolak untuk mamakannya dan beliau bersabda bahwa saya bukanlah orang yang memakan yang kamu sembelih atas nama berhala. Jadi inilah hati yang di dalamnya tidak ada yang lain kecuali hanya cinta kepada Tuhan.

Tauhid di masa Masa kenabian Rasulullah

Kemudian tatkala zaman kenabian mulai maka sebuah dunia menyaksikan pemandangan دَنَا فَتَدَلَّى-danaa fatadalla (Kemudian dia dekat, maka Allah menjadi dekat padanya) dengan syarat ada mata untuk melihat. Setiap hari yang terbit dan beranjak naik menampakkan permisalan dua orang yang saling mencintai, yakni menampakkan pertanda Allah dan Muhammad saw menjadi tambah lebih dekat. Sebagaimana paman beliau, ketika karena rasa takut pada orang-orang kafir Mekah beliau berusaha mencegah beliau untuk menyebarkan amanat Allah. Maka pecinta sejati Rasulullah saw itu betapa indah jawaban yang dia berikan, inilah kisahnya yang didapatkan.

Ibnu Ishak meriwayatkan," Dan selain itu banyak lagi orang-orang yang berada disana, semua itu datang kepada Abu Talib dan mengatakan hai Abu Talib ! Atau engkau melarang keponakan Engkau ( Muhammad saw) supaya dia jangan mejelek-jelekkan berhala-berhala kami dan janganlah menyatakan nenek moyang kami jahil dan sesat. Kalau tidak berilah izin kepada kami untuk menuntut balas sendiri dari dia, sebab dalam memusuhinya kamupun ikut beserta kami, yakni kamupun seperti kami tidak menjadi orang Islam. OIeh karena itu kamu janganlah menjadi penghalang di antara kami dan dia.

Abu Talib dengan sangat sopan santun memberikan jawaban pada mereka dan melepaskan mereka dengan penuh rasa senang hati. Dan Rasulullah saw seperti itulah terus memproklamirkan agama beliau, kendati kepada beliau telah diperingatkan. Kebencian Quraisy pada Rasulullah saw itu dari waktu ke waktu terus bertambah membara sehingga untuk kedua kali mereka kembali pergi kepada Abu Talib dan mereka mengatakan: Hai Abu Talib ! kamu adalah seorang yang mulia dan lanjut usia, dan kami menganggap kamu sebagai seorang yang terpandang. Kami telah memohon kepadamu untuk melarang keponakanmu itu , tetapi kamu tidak melarangnya. Demi Tuhan, kami tidak dapat bersabar atas perkara berhala-berhala kami dan nenek moyang kami dikatakan dengan kata-kata yang kasar. Atau kamu sendiri yang menyingkirkan hal itu atau prilakunya itu, kalau tidak kami mengatakan kepadamu bahwa dari antara kedua belah pihak pasti salah satu pihak ada yang akan binasa. Setelah mengatakan itu mereka kemudian pergi.

Abu Talib sangat cemas akan kebencian dan pengucilan kaumnya itu dan karena sebab-sebab itulah beliau terpaksa tidak dapat beriman kepada beliau dan tidak pula dapat menarik diri untuk tidak menolong beliau saw. Beliau tidak disini dan tidak pula disana. Maka Ibnu Ishak mangatakan: Tatkala orang Quraisy mengadukan kepada Abu Talib, maka Abu Talib membawa pesan ini kepada Rasulullah saw bahwa, hai keponakanku ! Kaummu datang kepada saya untuk menyampaikan begitu banyak keberatan-keberatan mereka. Maka saya menganggap bahwa kamu janganlah berbicara tentang sesuatu yang akan menghacurkan jiwamu dan jiwaku dan janganlah kamu menyakiti saya dengan pekerjaan yang sedemikian rupa yang aku tidak mampu untuk memikulnya. Perawi mengatakan bahwa Rasulullah saw menyangka bahwa kini paman saya tidak dapat menolong saya dan beliau saw memberikan jawaban padanya bahwa, hai pamanku ! jika orang-orang ini meletakkan matahari di tangan kananku dan bulan di tangan kiriku maka saya tetap tidak akan meninggalkan pekerjaan itu sehingga Allah menyempurnakan hal itu atau saya sendiri yang binasa di dalamnya. Kemudian air mata Rasulullah saw bercucuran, lalu Abu Talib memanggil beliau seraya berkata, hai keponakanku ! datanglah kemari.. Rasulullah saw mendekati beliau, lalu dia berkata, lihatlah, apa yang kamu ingin lakukan lakukanlah, saya sama sekali tidak akan meninggalkan engkau dan (jika ada sesuatu yang terjadi dengan dirimu) saya akan menuntut balas dari semuanya. (Sirat Ibni Hisyam ,jilid I hal.169 Maktabah darul ulum Edisi Baru)

Terkait dengan peristiwa itu Mirza Ghulam Ahmad menceriterakan: "Tatkala ayat-ayat ini turun bahwa orang-orang musyrik itu adalah rijsun, kotor,شرالبريه -sejahat-jahat makhluk, orang-orang bodoh, anak-anak syaitan. sembahan mereka adalah وقودالنار -bahan bakar neraka dan حصب جهنم-hashabu jahannam –bahan bakar neraka Jahannam, maka Abu Talibmemanggil Rasulullah saw seraya berkata, hai keponakanku ! dengan cercaanmu itu kaummu menjadi sangat marah sehingga mereka ingin membunuhmu dan bersama itu sayapun akan mereka jadikan sasaran. Engkau telah mengatakan orang-orang bijak mereka orang-orang bodoh dan sesepuh sesepuh mereka kamu katakan sebagai شرالبريه seburuk-buruk makhluk dan engkau memberi nama sembahan-sembahan mereka yang mereka hormati sebagai وقودالنار bahan bakar neraka dan bahan bakar neraka Jahannam". Yakni bahan bakar api neraka. Dan " kepada semuanya engkau nyatakan sebagai anak-anak syaitan dan sesuatu yang kotor. Saya meanyatakan kepadamu dengan rasa simpati bahwa tahanlah lidahmu dan berhentilah kamu dari melakukan cercaan itu, kalau tidak, saya tidak mempunyai kekuatan untuk menghadapi kaum kita. Rasulullah saw dalam memberikan jawaban berkata ," Hai pamanku ! ini bukanlah mencerca tetapi ini adalah ungkapan kenyataan dan merupakan sebuah keterangan atas perkara yang sebenarnya dan inilah tugas yang untuk itu saya telah dikirim oelh Allah. Jika saya harus menghadapai kematian demi untuk itu maka saya dengan senang hati akan menerima kematian itu untuk diri saya. Kehidupan saya ini telah diwakafkan di jalan ini. Saya tidak bisa berhenti dari mengungkapkan kebenaran karena takut mati. Hai paman ! jika paman terasa akan kelemahan paman dan kesulitan paman maka lepaskanlah diri paman dari memberikan perlindungan terhadap diri saya. Demi Allah, saya sedikitpun sama sekali tidak memerlukan paman, saya tidak akan pernah berhenti untuk menyampaikan amanat-amanat atau hukum-hukum Allah. Saya lebih mencintai hukum-hukum Tuhan-ku dari jiwaku. Demi Allah, jika saya terbunuh di jalan ini maka saya menginginkan bahwa saya hidup lalu saya terus mati berkali-kali di jalan ini. Bagi saya ini bukanlah merupakan hal yang menakutkan bahkan justru saya merasakan kelezatan yang tidak terhingga di dalamnya, yakni saya menikmati menjalani penderitaan di jalannya. Rasulullah saw tengah menyampaikan ceramah ini sementara wajah beliau penuh dengan nur keruhanian dan kekhusyukan beliau menjadi bertambah kentara di wajah beliau. Dan tatkala Rasulullah menyelesaikan ceramah beliau ini maka dengan melihat cahaya kebenaran itu serta merta air mata Abu Talib menjadi bercucuran seraya berkata bahwa saya tadinya tidak mengetahui prihal kondisimu yang sedemikian luhur itu. Engkau sungguh dalam warna yang lain dan keagungan yang berbeda. Pergi dan teruslah sibuk dalam tugasmu, selama saya hidup, sejauh kemampuan saya, saya akan terus membantumu.

Jadi inilah martabat fana Rasulullah saw dalam kencintaan kepada Allah swt. Kini orang-orang duniawi melontarkan kritikan bahwa beliau –nauzubillah- menghendaki kemegahan dunia yang karenanya beliau melakukan semua ini. Bahkan semua keberatan ini adalah mulai dari sejak itu , yakni dari sejak kebangkitan beliau. Kemudian tidak hanya ini , mereka mengatakan kata-kata yang keras dan kasar dan mereka memberikan ancaman bahwa beliau harus menyudahi missi beliau bahkan dalam menimpakan kesusahan-kesusahan pun mereka menempuh berbagai macam cara, yang peristiwanya tidak terhitung jumlahnya, tetapi kendati demikian orang-orang kafir tidak dapat mengurangi ari hati kecintaan beliau kepada Allah.

Demikian juga ada sebuah peristiwa dalam sebuah riwayat bahwa Abdullah bin Umar bin As r.a meriwayatkan bahwa pada suatu kali saya ada pada saat orang-orang besar Quraisy berada di Kakbah di dekat Hajarulaswad. Mereka mulai membicarakan Rasulullah saw seraya berkata bahwa sebagaimana kita bersabar berkait dengan orang itu seperti itu kita tidak pernah lakukan untuk siapapun. Dia ini menjelek –jelekkan nenek moyang kita dan agama kita. Kita telah banyak bersabar akan hal itu. Pada saat orang-orang ini tengah membicarakan hal ini maka tiba-tiba Rasulullah saw datang lalu beliau sibuk dalam melakukan tawaf dan pada saat beliau tengah melakukan tawaf dan lewat dari dekat mereka maka orang-orang kafir berbisik-bisik mengenai diri beliau. Sesuai dengan itu ada tiga kali pernah terjadi seperti itu dan di wajah Rasulullah saw terlihat rasa duka dan kesedihan dan pada kali yang ketiga tatkala mereka berbisik-bisik beliau berdiri seraya bersabda: “Hai orang-orang Quraisy ! demi Allah yang jiwaku terletak di tangan kekuasaan-Nya, saya datang membawa kehancuran bagi orang-orang yang seperti kalian. Abdullah bin Umar mengatakan," Sedemikian rupa pengaruh perkataan Rasulullah saw itu sehingga orang-orang Quraisy menjadi terkesima dan orang yang begitu paling belak-belakan bicara di tengah-tengah mereka menjadi berubah mulai berbicara dengan lembut kepada Rasulullah saw bahwa silahkan Tuan pergi. Kemudian beliau saw telah pergi.

Kemudian pada hari yang kedua mereka itu berkumpul dan dari semua arah mereka menyerang beliau sambil mengatakan kepada beliau bahwa kamu ini wahai Muhammad mecela berhala-berhala kami dan menjelek-jelakkan agama kami. Rasululah saw bersabda: Ya, inilah yang saya katakan. Abdullah bin Umar mengatakan bahwa saya melihat seorang memegang selimut Rasulullah saw. Begitu melihat itu Abu Bakar berdiri menangis sambil berkata kepada orang-orang Quraisy, apakah kalian ingin membunuh orang yang mengatakan bahwa Rabb saya adalah Allah. Baru orang-orang Quraisy pergi meninggalkan beliau. Perawi mengatakan bahwa peristiwa perlakuan buruk orang-orang Quraisy ini saya lihat langsung dengan mata kepala saya sendiri. (Assiratunnabawawiyyah li ibni Hisyam almakruf sirat Ibni Hisyam dzikru ma laqiya Rasulullah saw hal. 217-218 )

Seperti itu banyak lagi peristiwa-peristiwa lain, peristiwa-pristiwa yang penuh dengan marabahaya. Dilancarkan rencana-rencana jahat untuk menghabiskan beliau dan orang yang mengimani beliau. Tetapi Allah yang telah memutuskan untuk menciptakan kelahiran beliau dari sejak kelahiran Adam, dan yang dengan perantaraan kekasih-Nya yang dikasihi ini Dia telah memutuskan untuk menyampaikan amanat-Nya ke seluruh penjuru dunia dan yang sesuai dengan janji-janji-Nya akan melindungi beliau, maka sesuai dengan itu Dia senantiasa terus menurunkan malaikat-malaikat-Nya yang menyiapkan sarana perlindungan kepada beliau untuk menolong beliau pada saat –saat sulit.

Sebagaimana dalam riwayat-riwayat tertera sebuah pristiwa: "Setelah berbicara dengan para pemuka Quraisy Rasulullah saw kemudian pergi dan Abu Jahal berkata ," hai Quraisy apakah kalian melihat bahwa Muhammad tidak ada kata-kata kita yang mau diikutinya dan tidak berhenti memburuk-burukkan sesepuh-sesepuh dan agama kita. Jadi, saya berjanji kepada Tuhan bahwa besok saya akan datang dengan membawa batu besar dan pada saat Muhammad melakukan sujud, saya akan menindih kepalanya. Kalian berilah perlindungan kepada saya. Sesudahnya apa yang Bani Abdi Manaf ingin lakukan mereka dapat silahkan mereka lakukan, yakni dari keluarga Rasulullah saw. Quraisy mengatakan bahwa demi Tuhan kami akan melindungi kamu dan apa yang kamu dapat lakukan lakukanlah itu. Maka tatkala pagi hari tiba, Abu Jahal datang membawa sebuah batu besar lalu duduk menunggu Rasulullah saw yang akan melakukan shalat. Rasulullah saw pun sebagaimana kebiasaan beliau, beliau masuk ke Masjidil haram. Oleh sebab pada hari-hari itu kiblah adalah menghadap ke Baitul-Muqaddis maka beliau sibuk dalam melakukan shalat diantara Hajarul aswad dan Rukun Yamani. Orang-orang Quraisy berbaring di tempatnya masing-masing tengah menunggu jasa Abu Jahal . Maka pada saat beliau tengah melakukan sujud, Abu jahal beranjak membawa batu untuk memindih kepada Rasulullah saw , maka tatkala sampai di dekat beliau maka dari sana dia mundur ke belakang hingga batu jatuh dari tangannya dan dia dalam kondisi yang sangat buruk dan dalam keadaan sangat ketakutan dia kembali kepada kaumnya. Orang-orang pun berlari-larian kepadanya dan menanyakan apa gerangan yang telah terjadi dengan Abulhakam ? Dia menuturkan kisahnya bahwa pada saat saya berangkat membawa batu kepadanya untuk menyempurnakan pekerjaan yang telah saya janjikan kepada kalian, maka apa yang saya lihat, ternyata saya melihat seekor unta besar mengerikan dan ingin menerkam dan memakan saya. Oleh karena itu saya segera mundur kebelakang, kalau tidak tadinya saya sulit untuk menghindarkan diri saya. (Assiratunnbawiyyah liibni Hisyam Almakruf sirat Ibni Hisyam hal.222)

Jadi, perhatikanlah bagaimana Allah melindungi kekasih-Nya . Tetapi bagi seorang yang hatinya mengeras seperti batu untuk sementara waktu dengan melihat tanda ini dia menjadi ketakutan, tetapi pencikan iman tidak menerpanya. Inilah kondisi Abu jahal. Kemudian tatkala untuk memisahkan kekasih dengan yang dikasihi segala macam cara dan kekerasan-kekerasan tidak dapat ampuh maka terfikir oleh mereka bahwa kita iming-imingi dia dengan harta benda duniawi lalu kita lihat, secara langsung kita bicara dengannya lalu kita lihat. Tetapi orang-orang tuna akal itu apa yang mereka dapat ketahui bahwa seorang yang telah terperangkap dalam perangkap kecintaan pada Allah dan martabat pun merupakan martabat yang Rasulullah saw telah capai, maka apa hubungannya dengan iming-iming harta benda dunia itu. Sesuai dengan itu peristiwa tentang iming-iming atau penawaran dunia ini tertera dalam sejarah seperti ini.

Ibni Ishak meriwayatkan bahwa manakala Islam dari hari ke hari mulai meraih kemajuan sedangkan dari pihak orang-orang Quraisy sedapat mungkin mereka mencegah orang-orang untuk menerima Islam dan mereka menimpakan berbagai macam kesulitan dan penderitaan. Sejumlah orang mereka penjarakan di dalam rumah mereka. Ibni Abbas meriwayatkan bahwa pada suatu hari setiap pemimpin suku Quraisy berkumpul untuk berdialog dengan Rasulullah saw yang namanya adalah sbb: Utbah, Syaibah,Abu Sufyan, Nadhar bin Haris Albakhtari / Abul bakhtari… Abu Jahal bin Hisyam, Abdullah bin Abi Umayyah 'As bin Abi Wail, Umayyah bin Halaf dll semua ini setelah matahari terbenam berkumpul di belakang teras Kakbah dan seorang berkata kepada yang lainya bahwa suruhlah panggil seseorang untuk berbicara dengan Muhammad (saw) dan berdialoglah sedemikian rupa sehingga dia menjadi tidak berdaya.

Kemudian mereka mengirim seorang kepada Rasulullah saw. Beliau setelah mendengar amanat ini menganggap bahwa mungkin mereka mempunyai keinginan untuk mengikuti jalan yang lurus. Sebab, beliau sangat ingin mereka menerima Islam. Maka beliau dengan cepat pergi ke pertemuan itu. Semuanya dengan sepakat mengatakan kepada beliau bahwa hai Muhammad (saw ) ! kami memanggil Tuan untuk melakukan pembicaran, sebab demi Tuhan, kami dari orang Arab siapapun kami tidak dapat ketahui yang sedemikian rupa menjerumuskan kaumnya dalam kesulitan sebagaimana halnya Tuan telah lakukan (terhadap kami). Tuan ini memburuk-burukkan nenek moyang kami dan mencela sembahan-sembahan kami, mencerai beraikan jamaah kami, tidak ada suatu kerusakan yang Tuan tidak pikulkan kepada kami. Jika tujuanmu adalah untuk mengumpulkan harta maka kami akan menyerahkan harta kami kepadamu sedemikian rupa sehingga Tuan akan meanjadi orang yang terkaya diantara kami. Dan jika ingin menjadi pimpinan, maka kami akan menjadikan Tuan sebagai pemimpin kami. Jika Tuan ingin menjadi raja maka kami akan menjadikan Tuan sebagai Raja. Dan untuk Jin atau siluman yang datang kepada Tuan untuk mengobatinya kami siap untuk membelanjakan semua harta kami kepada Tuan.

Rasulullah saw bersabda: Seberapa banyak pembicaraan yang kalian lakukan itu satupun tidak ada didalam diri saya. Saya tidak mengingikan harta, tidak menginginakan kemuliaan dan tidak menginginkan kerajaan. Saya telah dikirim oleh Allah sebagai Rasul dan Dia telah menurunkan kitab-Nya kepada saya dan telah memerintahkan bahwa saya adalah sebagai pemberi ingat dan pemberi habar suka bagi kalian. Saya memberikan kabar suka dan memberikan peringatan juga. Jadi saya telah menyampaikan amanat Tuhan kepada kalian. Jika kalian menerimanya maka di dalam itu adalah faedah untuk diri kalian sendiri. Dan jika kalian tidak menerimanya maka sabarlah kalian sampai pada saat itu dan sayapun juga akan bersabar hingga Tuhan memberikan keputusan diantara saya dan kalian. (Assiratunnbawiyyah liibni Hisyam Almakruf sirat Ibni Hisyam hal.220-221)

Beliau Rasulullah saw yakin dan sepenuhnya yakin bahwa beliau adalah Nabi Allah yang benar dan keputusan akhir Allah benar-benar beliau ketahui bahwa itu pasti akan memihak saya. Jadi beliau (Rasulullah saw) bersabda, hai orang-orang kafir! Kalian akibat tidak ada rasa malu, kalian tidak dapat bergeser dari agama kalian yang palsu. Di dalam surah ( يَاأَيُّهَا الْكَافِرُونَ ) semua perkara ini diterangkan. Maka, saya yang sebagai nabi Allah bagaimana saya akan dapat berhenti untuk menyampaikan amanat Allah yang Allah telah perintahkan kepada saya. Bagaimana saya bisa berhenti beribadah kepada Tuhan yang setiap hari terus memperlihatkan tanda-tanda-Nya yang baru kepada saya, yang mana Dia sendiri yang berdiri untuk menandingi kalian dari pihak saya. Kalian silahkanlah lakukan terus perlawanan kepada saya, jangan lagi ada tersisa upaya-upaya untuk menyakiti saya, tetapi ingatlah bahwa sayalah yang akan menang. Kepada kalian inilah jawaban yang Allah telah ajarkan kepada saya bahwa kalian tetaplah dalam agama kalian dan saya akan tetap dalam agama saya.
لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ Tapi ingatlah bahwa ini sudah merupakan ketetapan, takdir Allah telah memberikan keputusan,Tuhan saya telah mengambil keputusan, yakni Tuhan yang Maha mengetahui yang hadir dan yang gaib dan mengetahui yang akan datang, Tuhan yang terus menerus menzahirkan kecintaan-Nya kepada saya,Takdir Tuhan itu kini adalah bahwa agama Tuhan yang Esa itulah yang akan meraih kemenangan dan era kalian akan berakhir. Jadi jawaban ini Allah telah suruh ucapkan dari lidah orang yang mencintai-Nya dan kepada orang yang Dia cintai.

Kecintaan kepada Allah

Kecintaan Rasulullah saw kepada zat Allah dan antusiasme beliau untuk menegakkan ke-Esaan Tuhan di muka bumi dan yang untuk itu beliau telah berupaya, itu tidak ada yang dapat menghadapinya. Tetapi jika kapan saja berkenaan Zat itu, berkenaan dengan Zat Allah swt beliau mendengar kalimat yang luhur dan baik maka beliau senantiasa memberikan pujian.

Tertera dalam sebuah riwayat yang bersumber dari Hadhrat Abu Hurairah bahwa Rasulullah saw (karena senang, sebagai pujian beliau mengutip syair seraya ) bersabda: Perkara yang paling benar yang seorang penyair pernah katakan adalah penggalan syair Labid : Dengarlah, selain Allah segala sesuatunya adalah batil dan akan musnah" (Bukhari kitabul manaqib alanshar bab ayyamuljaahiliyyah)

Kemudian kecintaan kepada Allah dan gairat akan nama-Nya sampai sejauh mana ada dalam diri beliau sehingga beliau siap untuk meanggung kerugian, tetapi beliau tidak bisa menerima apabila tuntutan gairat Allah tidak dipenuhi.

Sebagaimana tertera dalam sebuah riwayat . Aisyah r.a. meriwayatkan bahwa pada saat Rasulullah saw tengah pergi menuju perang Badar, pada saat Islam dalam keadaan yang sangat lemah. Dan sebelum tiba di Badar seorang hadir di sebuah tempat dan orang tersebut terkenal dengan keberanian dan kepiawaiannya dalam berperang. Para sahabah menjadi sangat gembira begitu melihatnya. Dia menawarkan diri kepada Rasulullah saw bahwa saya ikut berperang dengan Tuan dengan syarat saya pun diberikan bagian dari harta rampasan perang. Beliau bertanya apakah kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Dia menjawab, tidak. Beliau bersabda kalau begitu kamu boleh meninggalkan tempat ini. Saya tidak ingin meminta bantuan dari seorang yang musyrik. Beberapa lama kemudian setelah hadir dia kembali memohon seperti ini. Maka jawaban inilah yang beliau berikan. Dia datang untuk ketiga kalinya dan bertanya bahwa ikutkanlah saya juga dalam lasykar ini. Kemudian beliau bertanya apakah kamu berikan kepada Allah dan Rasul-Nya . Pada kali ini dia memberikan jawaban ,ya. Maka beliau bersabda, boleh. Beliau bersabda, kalau begitu ikutlah bersama kami.( Muslim Kitabul jihad bab karahiyatul isti'anganah. )

Jika ada seorang yang cinta dunia maka tentu akan mengatakan bahwa ini bantuan ada yang datang, manfaatkanlah itu. Tetapi gairat beliau tidak dapat menerima bahwa di dalam peperangan yang dilakukan atas nama Allah bantuan diambil dari orang musyrik.

Kemudian tertera dalam sebuah riwayat bahwa Umar r.a pada suatu saat bersumpah atas nama bapaknya. Rasulullah saw memanggilnya lalu menegurnya seraya bersabda : Dengarlah, Allah melarang kalian untuk bersumpah atas nama bapak kalian. Siapa yang perlu harus bersumpah maka bersumpahlah atas nama Allah atau diamlah. (Bukhari kitabul adab bab man lam yara kuffaara man qaala mutaawwilan atau jaahilan.)

Pertama, adalah bahwa ada orang yang merupakan adat kebiasaannya bersumpah atas nama Allah atas hal-hal yang kecil-kecil. Itu sudah menjadi kebiasaan umum. Hendaknya jangan mengucapkan sumpah seperti itu. Jika dalam sejumlah kondisi, akibat sejumlah keterpaksaan terpaksa harus mengucapkan sumpah maka pada saat itu sumpah dilakukan dan pada saat itu hendaknya yang ada di dalam fikiran kita adalah bahwa saya tengah menjadikan Allah sebagai saksi. Beliau dalam kondisi apapun tidak pernah dapat menerima bahwa apa yang merupakan hak Allah jangan ada yang dapat dekat menyentuh ke dekatnya dalam keadaan tidak tahu. Kemudian jika sedikit saja kemungkinan ada sejumlah amal membawa kepada syirik maka beliau dengan sangat keras menolaknya.

Para penyembah kuburan

Mengenai pergi ke kuburan- kuburan untuk doa beliau telah memberikan izin, tetapi beliau tidak dapat menerima bahwa di atas kuburan-kuburan itu dinyalakan lampu. Sejumlah orang menyalakan lampu dan lilin. Maka tertera dalam sebuah riwayat yang diterangkan oleh Hadhrat Ibni Abbas bahwa Rasulullah saw melaknat orang-orang yang berziarah ke kuburan seperti itu, menjadikan kuburan-kuburan itu sebagai sembahan selain Allah dan mejadikan tempat itu untuk menyalakan lampu-lampu. (Turmudzi kitabushalat bab maa jaa aa fi karahiyati anyattakhidzal 'alal qabri masjidan.)

Dewasa ini perhatikanlah bahwa orang-orang Islam pun ternyata telah melakukan tindakan seperti ini. Mereka para wali yang (ketika hidupnya) mereka sendiri merupakan wujud-wujud yang terus menerus memperjuangkan tegakknya tauhid Ilahi tetapi atas nama mereka justru syirik itu terjadi. Kepadanya diminta keinginan-keinginannya dikabulkan, kepadanya dimohon keinginann-keinginan mereka dipenuhi, mereka kesana untuk bernazar dan kain selimut yang bertatahkan benang emas yang selimutkan di atas kuburannya dan ini merupakan kenyataan yang sebenarnya dan itu kini ada. Seorang perempuan memberitahukan bahwa dia kenal dengan seorang perempuan yang memiliki seorang anak. Dia mengatakan bahwa anak ini diberikan oleh Data Sahib (nama seorang wali terkenal). Saya katakana padanya, takutlah pada Tuhan. Dia menjawab, tidak. Saya sebelumnya terus meminta kepada Tuhan, saya terus memanjatkan doa dalam shalat-shalat, namun saya tetap tidak dapat melahirkan anak. Pada saat saya pergi ke makam Data sahib maka setelah itu saya mendapatkan anak. Jadi, daripada Allah –menurut dia-Data sahib merupakan segala-galanya. Sama sekali tidak rasa ada rasa takut pasa Tuhan. Dan di anak benua kecil(India) -sebagaimana saya telah katakan – yang dikatakan sebagai Muslim pun banyak sekali mereka yang sedang terjerumus dalam syirik ini. Rasul Allah telah melaknat orang yang seperti itu.

Kemudian tertera dalam sebuah riwayat bahwa Hadhrat Aisyah r.a meriwayatkan bahwa Ummi Salma menyebutkan mengenai sebuah Gereja di Habsyah yang diberi nama Maryah dan di dalamnya diletakkan gambar. Atas hal itu Rasulullah saw bersabda bahwa ini adalah merupakan kaum apabila di kalangan mereka ada orang saleh yang mati maka di atas kuburannya mereka membuat mesjid-mesjid dan di dalamnya mereka membuat patung. Orang-orang seperti itu adalah merupakan makhluk yang terburuk. Bukhari kitabusyshalat bab asshalaatu fil bai'ati

Di dalam sebuah tempat tertera juga demikian bahwa dalam keadaan beliau sedang sakit perkataan ini disebut. Maka begitu mendengar ini (mereka menjadikan kuburan nabi mereka sebagai masjid) beliau serta merta bangun duduk dengan penuh semangat dan beliau bersabda sangat buruk sekali orang-orang yang melakukan seperti ini. Kondisi beliau sendiri beliau biasa memanjatkan doa seperti iniاللهم لا تجعل قبرى وثنا Allaahumma laa taj'al qabri wasnan- hai Allah ! janganlah Engkau jadikan kuburanku sebagai tempat penyembahan berhala.

Seorang yang sepanjang umur setiap saat, setiap detik penuh waktunya dalam mencintai Allah, terus berupaya menegakkakan tauhid Ilahi, kaki-kakinya menjadi kejang dan bengkak karena terus menerus beribadah sepanjang malam, yang keinginannya hanya satu agar setiap orang di dunia menjadi orang-orang yang beribadah kepada Tuhan yang Esa, maka bagaimana mungkin dapat bersabar menerima bahwa kuburnya menjadi tempat syirik. Dan sampai kini sebagai pengambulan doa itu Dia telah telah menyelamatkan kuburan yang penuh berkah itu dari syirik. Tetapi heran sekali pada orang-orang Islam –sebagaimana saya sebelumnya telah katakan- orang-orang pergi ke kuburan orang sufi-sufi dan para fakir /arif billah untuk melakukan syirik dan tempat itu kini menjadi pangkalan syirik.

Hadhrat Mirza ghulam Ahmad mengatakan: " Saya senantiasa melihat dengan pandangan penuh rasa kekaguman bahwa nabi dari Arab yang bernama Muhammad saw (Ribuan salam dan selawat sejahtera padanya) betapa luhur martabat yang dicapai nabi itu. Titik puncak ketinggian martabatnya tidak dapat diketahui, memperkirakan pengaruh daya pensuciannya bukanlah merupakan pekerjaan manusia. Namun sangat disayangkan sebagaimana martabatnya seyogianya harus dikenal martabatnya itu tidak dikenal. Tauhid yang telah sirna dari muka bumi ini dialah sosok panglima yang membawanya kembali ke dunia ini. Dia dengan cara yang sangat luar biasa telah mencintai Allah dan dalam bersimpati kepada ummat manusia telah memberikan pengaruh kepada jiwanya. Oleh karena itu Allah yang mengetahui akan rahasia hatinya telah menganugerahkan kelebihan melebihi semua nabi-nabi dan melebihi orang-orang terdahulu serta orang-orang yang datang kemudian, dan keinginan serta cita-citanya dipenuhi di masa hidup juga". Haqiqatul wahyi ruhani Hazain jilid 22 hal 118-119

Kemudian beliau Mengatakan: " Bacalah Al-Quran sambil merenungkan kandungan isinya. Lebih dari nabi kita Muhammad saw tidak ada contoh manusia sempurna manapun dan untuk yang akan datang pun tidak akan ada sampai hari Qiamat. Kemudian lihatlah kendati dengan mendapatkan mukjizat ilahiah sekalipun kondisi Rasulullah saw senantiasa tetap berada pada kondisi menghambakan diri dan berkali-kali beliau mengatakan أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ (aku ini hanya seorang manusia seperti kamu) sehingga di dalam kalimah tauhid pernyataan beliau sebagai hamba dibakukan sebagai bagian yang tidak terpisahkan. Yang tanpa itu seorang Muslim tidak dapat dikatakan sebagai seorang Muslim. Renungkan dan renungkanlah kembali. Jadi dalam kondisi mana cara kehidupan pemberi petunjuk yang sempurna memberikan pelajaran kepada kita bahwa setelah sampai kepada kedekatan yang tertinggi pengakuan penghambaan itu tidak lepas. Oleh karena itu siapapun berfikiran seperti itu atau membawa pemikiran seperti itu di dalam hati (penghambaan/beribadah itu dapat lepas) adalah merupakan perkara yang sia-sia dan tidak berguna". Malfuzhat jilid I hal.74

Jadi, inilah martabat Rasulullah saw yang untuk menegakkannya dan untuk menciptakan kecintaan Allah di dalam hati manusia beliau telah lahir. Martabat manusia yang paling luhur dan kedudukan /tingkat sebagai hamba Allah Yang Rahman yang oleh seseorang yang paling tinggi dapatkan adalah yang didapatkan oleh Rasulullah saw. Beliau telah dibangkitkan supaya manusia dapat mengenal dirinya dan mengenal Zat Allah dan dapat memperkenalkan Zat Allah. Beliau dibangkitkan untuk menegakkan tauhid Ilahi. Dan di dalam inilah beliau telah melewati seluruh kehidupan beliau. Dan keinginan beliau adalah supaya setiap individu dan setiap orang di dunia menjadi tegak pada tauhid Ilahi.

لا اله الا الله محمد رسول الله laailaahaillallah muhammadurrasuulullah. Semoga Allah memberikan taufik kepda kita semua.

Khutbah jum'ah Mirza Masroor Ahmad tanggal 4 -2-2005 di Baitulfutuh, Morden,London,Inggris.



Sabtu, 20 September 2008

Al-Qur’an tidak ada tandingannya

Apa pun yang merupa melalui kekuasaan Allah s.w.t. yang sempurna, apakah itu merupakan bagian dari ciptaan seluruhnya atau pun sebuah Kitab Suci yang secara harfiah diwahyukan oleh-Nya, semuanya membawa sifat bahwa tidak ada wujud lainnya yang mempunyai kemampuan menghasilkan padanannya.

Hal ini dibuktikan dengan dua cara, pertama adalah melalui metoda deduksi. Tuhan itu Maha Esa dan tanpa sekutu dalam Wujud, sifat dan kinerja-Nya, karena jika dimungkinkan adanya serikat dengan Dia dalam ciptaan, firman atau pun tindakan, maka akan dimungkinkan munculnya padanan dalam sifat-sifat serta adanya Tuhan lain.

Semua yang dianggap memiliki sifat-sifat Ilahi akan menjadi Tuhan dan yang hanya memiliki sebagian dari sifat-sifat Ilahi tersebut akan menjadi sekutu-Nya berkaitan dengan sifat berkaitan, dimana semua ini lalu menjadi suatu hal yang tidak masuk akal. Dengan demikian jelaslah bahwa Tuhan itu Maha Esa tanpa sekutu dalam segala sifat-sifat, firman dan tindakan-Nya dan Wujud-Nya itu bebas dari segala inkonsistensi yang akan mengharuskan adanya seseorang untuk menjadi sekutu-Nya.
Kedua, telah dibuktikan melalui pengamatan atas segala hal yang diciptakan oleh Allah s.w.t. bahwa tidak ada satu pun dari antaranya yang bisa diciptakan oleh manusia, tidak juga makhluk terkecil seperti lalat, nyamuk atau pun laba-laba. Dengan memperhatikan bentuk dan penciptaan makhluk-makhluk tersebut, kita akan menemukan keajaiban yang merupakan bukti konklusif dari eksistensi sang Maha Pencipta alam semesta.Disamping semua argumentasi tersebut, kiranya jelas bagi mereka yang mau berpikir bahwa kalau dimungkinkan ada sosok lain selain Tuhan yang juga memiliki kekuasaan menciptakan seperti apa yang telah diciptakan oleh Allah s.w.t. sendiri, maka tidak akan ada lagi dari keseluruhan ciptaan itu yang bisa diajukan sebagai bukti eksistensi sang Maha Pencipta yang sebenarnya. Manusia jadinya akan meragukan sifat-Nya sebagai sang Pencipta jika benda-benda yang telah diciptakan oleh Allah yang Maha Kuasa ternyata bisa juga diciptakan oleh orang lain.
Adalah suatu kenyataan bahwa apa pun yang merupakan hasil ciptaan Tuhan pastilah merupakan suatu hal yang tidak ada padanannya sama sekali dan ini menjadi bukti bahwa hal itu berasal dari Allah s.w.t. Pandangan ini menjadi sanggahan atas pendapat yang mengatakan bahwa Tuhan tidak perlu bersifat tanpa bandingan atau bahwa keadaan tanpa bandingan tersebut tidak menjadi bukti kalau hal itu berasal dari Tuhan.
Keadaan tanpa banding merupakan kekhususan daripada kinerja dan firman Allah s.w.t. Setiap orang yang berpikir mengetahui bahwa sarana utama bagi akal untuk menegakkan Ketuhanan Ilahi adalah keyakinan kalau semua yang berasal dari Tuhan itu tidak ada tandingannya sehingga merupakan bukti konklusif akan Ke-Esaan sang Maha Pencipta. Tanpa adanya sarana demikian maka jalan bagi nalar untuk mencapai Tuhan akan tertutup jadinya. (Barahin Ahmadiyah, sekarang dicetak dalam Ruhani Khazain, vol. 1, hal. 149-152, London, 1984).
* * *
Al-Qur’an merupakan Kitab yang memproklamirkan sendiri keunggulan dirinya yang tanpa tanding beserta keagungan, kebijaksanaan, kebenaran, keindahan susunan dan Nur ruhani yang dibawanya. Tidak benar jika dikatakan bahwa umat Islam hanya mengada-ada mengenai kebesaran Kitab Suci Al-Qur’an. Kitab itu sendiri telah mengemukakan kemuliaan dan keagungan dirinya serta mencanangkan dengan lantang ketiadaan-tara dan keluhurannya sebagai tantangan kepada seluruh alam: “Apakah ada yang bisa menandingi?”.
Kebenaran dan mutiara hikmah yang dikandungnya bukan hanya dua atau tiga buah saja yang akan meninggalkan sisa keraguan dalam pikiran seorang awam, melainkan sebagai samudra yang menggelora dan nyata di semua arahan laiknya bintang-bintang di langit. Tidak ada kebenaran lain di luar Kitab itu. Tidak ada kebijakan yang belum terangkum di dalamnya. Selalu ada Nur yang dapat diperoleh melalui cara mengikutinya. Semua ini ada buktinya dan bukan semata hanya omong kosong saja. Semua itu menjadi kebenaran yang telah dibuktikan secara nyata yang cemerlang terus selama 1300 tahun terakhir. Kami telah merinci mutiara-mutiara hikmah Kitab tersebut dalam buku ini dan menjelaskan seluk beluk Al-Qur’an secara panjang lebar agar bisa menjadi samudra yang memuaskan bagi para pencari kebenaran. (Barahin Ahmadiyah, sekarang dicetak dalam Ruhani Khazain, vol. 1, hal. 662-665, London, 1984).



Fasting: Fourth Pillar of Islam


Muhammad Zafrulla Khan

The Review of Religions, March 1994

At the time of the publication of this issue of the Review of Religions, Muslims throughout the world will be fasting during the sacred month of Ramadhan. This article by one of the greatest international statesmen and jurists of his age, the late Hadhrat Muhammad Zafrulla Khan, gives a brief and lucid insight to the fourth Pillar of the Islamic faith.

`The Holy Quran states: `O ye who believe, fasting is prescribed for you during a fixed number of days as it was prescribed for those before you, so that you may safeguard yourselves against every kind of ill and become righteous. But whoso from among you should be ailing, not being permanently incapacitated, or should be on a journey, shall complete the reckoning by fasting on a corresponding number of other days; and for those who find fasting a strain hard to bear is an expiation, the feeding of a poor person, if they can afford it. Whoso carries through a good work with eager obedience, it is the better for him. If you possessed knowledge you would realise that it is better for you that you should fast.'(1)

`The month of Ramadhan is the month in which the Quran began to be revealed, the Book which comprises guidance for mankind and clear proofs of guidance and divine Signs which discriminate between truth and falsehood. Therefore, he who witnesses this month, being stationary and in good health, should fast through it. But whoso is ailing, not being permanently incapacitated, or is on journey, should complete the reckoning by fasting on a corresponding number of other days. Allah desires ease for you and desires not hardship for you; He has granted you this facility so that you should encounter no hardships in completing the reckoning, and that you may exalt Allah for His having guided you and that you may be grateful to Him.'(2)

`It is made lawful for you to consort with your wives during the nights of the fast. They are as a garment for you and you are as a garment for them. Allah knows that you were being unjust to yourselves, whereof He has turned to you with mercy and has corrected your error. So consort with them now without compunction and seek that which Allah has ordained for you, and eat and drink till the break of dawn begins to manifest itself. From then on, complete the fast till nightfall. But do not consort with your wives during the period when you are in retreat in the mosques. These are the limits prescribed by Allah, so approach them not. Thus does Allah expound His commandments to the people, so that they may safeguard themselves against evil.'(3)

The idea of the fast has been inculcated in all religious disciplines which are based on revelation, though strict conformity to the ordinances relating thereto is no longer insisted upon. Indeed, within some disciplines, the fast has been reduced to a purely symbolic observance. In Islam, the ordinances relating to the fast are clearly stated and defined and to the degree of their applicability, they are strictly observed. A tendency towards greater rigidity is sometimes encountered and has to be checked and countered through exposition of the true purpose of the fast and of the meaning of the regulations and their spirit.

Subject to the permissible exemptions, the observance of the fast is obligatory upon every adult Muslim during the month of Ramadhan, the ninth month in the lunar calendar current in Islam. As the lunar year is shorter by about eleven days than the solar year, Ramadhan rotates through the year and the seasons, arriving eleven days earlier every year. Thus in every part of the earth, it progresses through every season in turn. In the tropics, when Ramadhan falls in the summer season, not only are days longer than in the winter but the fast entails additional hardship on account of the heat, as normal occupations and pursuits have to be carried on and in the intense heat and dryness, a severe degree of thirst may have to be endured through several hours each day. The fast is, however, in no sense a penance. It is a physical, moral and spiritual discipline, and the object is the promotion of righteousness and security against evil. Through the experience of the fast, the worshipper is impelled to exalt Allah for His having provided the guidance and is prompted to the beneficent use of His favours and bounties.(4)

Outside Ramadhan, a voluntary fast may be observed at any time, except on the two festival days. The Holy Prophet, peace and blessings of Allah be upon him, often observed a fast on Monday and Thursday but he did not approve of a voluntary fast being observed on a Friday.

A fast is prescribed as an expiation or as an alternative penalty in respect of certain crimes or defaults, but in these cases also, the object is the promotion of physical, moral and spiritual values. For instance, if a person on Pilgrimage to the House of Allah is unable to offer the sacrifice of an animal as prescribed, he should observe the fast for three days during the course of pilgrimage and for seven days after return home, making up ten altogether.(5) The expiation of an oath is a fast for three days.(6) The alternative penalty for killing game while on Pilgrimage is a fast for a number of days corresponding to the number of animals killed. The alternative penalty for manslaughtered is a fast for two consecutive months(7) and the same is the penalty for Zihar, a frivolous declaration by a husband that henceforth consorting with his wife would amount to consorting with his mother, a hateful method of pronouncing a divorce, practised in pre-Islamic days abolished by Islam.(8)

A vow of silence during a certain period (9) has also been described in the Holy Quran as fast.(10)
Physical Observance

The observation of a fast, whether obligatory or voluntary, or by way of expiation or as a penalty, is subject to the same regulations. The period of the daily fast extends from the first flush of dawn normally about an hour and a quarter before sunrise, till after sunset. During this period neither food nor drink or nourishment may be pass through the lips of a person who is observing the fast. Nor should any drug or other substance be swallowed or injected into the system. The fast may, however, be discontinued in case of emergency and would be terminated if the person observing the fast becomes sick. Nor should there be any consorting between husband and wife or any approach to it.

The fast must not be continued beyond sunset even if nothing is immediately available for terminating the fast save a few drops of water, a pinch of salt or sugar, a bit of stale bread or a dried date, etc.

If during the fast, food or drink should be swallowed in complete forgetfulness of the fast, that would not vitiate the fast and the fast should be completed till nightfall. Should, however, something be swallowed through carelessness, even involuntarily, the fast is vitiated and cannot be continued.

It is customary and is considered desirable that a light breakfast should be taken immediately before the commencement of the fast. The breaking of the fast after sunset should not be made an occasion for gorging oneself with food and drink. This would be in contravention of the fast and would be a departure from the example of the Holy Prophet, on whom be peace, which must be adhered to. It could also prove harmful to health.

The month of Ramadhan is a period of intensive training in beneficent values. Abstention from food and drink and conjugal relations for a certain number of hours each day through a month is a valuable exercise in endurance and steadfastness. But that is only the outer shell, as it were of the fast. Yet even this has a great social significance. It brings home to the well-to-do sector of society the meaning of hunger and thirst. Privation ceases, in their case also, to be a mere expression and becomes an experience shared in common with all. The consciousness that a large number of their fellow beings have to go hungry most of the time is sharpened and there is great eagerness to share with them the bounties that Allah has, of His grace, bestowed on themselves.
The True Purpose of Ramadhan

The true purpose of Ramadhan, as of all forms of Islamic worship is to draw people closer to Allah. Though normal pursuits and occupations are carried on as usual, the emphasis on moral and spiritual values and concentration on them are intensified, and everything is subordinated to the main purpose. The hearing, the sight, the tongue, the mind are all under stricter control. For instance, not only vain talk, but much talk is also eschewed, so that there should be greater concentration on remembrance of Allah and reflection upon His attributes. The Holy Prophet said: `He who abstains from food and drink during the period of the fast but does not restrain himself from uttering a falsehood starves himself to no purpose.' It is related of him that during Ramadhan, his own concern for and care of the poor, the needy, the sick and the orphan was intensified manifold, and that his charity knew no limit.
Recitation of the Quran and I'tikaf

The study of the Quran and reflection over the Divine Signs recited therein takes up the greater part of the time that can be garnered by reducing the other demands upon it to a minimum. Divines and scholars carry on discourses on the Quran throughout the month. Voluntary Prayer during the latter part of the night is deemed obligatory during Ramadhan but may be offered individually or in congregation. For the convenience of those who may find it difficult to proceed to a mosque at that hour to take part in the service, a congregational service is held after Isha, the evening service. Whether held after Isha or before Fajar the follow up passage after the Fatiha assumes considerable proportions. The service comprises eight raka'as, offered in four units of two raka'as each, and is led by an Imam who is Hafiz, that is one who has learnt the whole Quran by heart. During this service, the recitation from the Quran is made in sequence and the recitation of the whole of the Quran is completed during Ramadhan. This entails the recitation of approximately one twenty-eighth of the Quran in the course of the daily service, one eighth of that portion being recited as the follow-up passage after the Fatiha in each raka'a. The Imam, of course, recites from memory and the congregation follows the recitation with rapt attention.

That is another unique feature of Islam. No less than seventy times is the Scripture of Islam referred to in the Revelation itself by the name Quran. The word means that which is repeatedly read, recited, proclaimed. It is the only Scripture which is in its entirety expressed in the words of the revelation. It is thus the only one which is literally the Word of God. Its very name is a prophecy that it will be widely and repeatedly read, recited, and proclaimed. Its text, in the words of the revelation, is preserved intact and in its proper sequence in the memories of millions of its devotees from generation to generation. Hundreds of millions read and recite portions of it in Prayer services and otherwise in the course of the day and night around the globe. During Ramadhan the number is greatly augmented. Numberless people read it through by themselves during that month. Others hear it interpreted and expounded.

A much larger number hear it recited from beginning to end in the course of the service just described. All this in the very words of the revelation in which it was sent down close upon 1400 years ago. That in itself is a matchless Divine Sign and Testimony.

During the last ten days of Ramadhan, many people go into seclusion, as it were, in a mosque and devote the whole of their time, not occupied by the obligatory and voluntary services, to the study of the Quran and the remembrance of Allah. This period of complete devotion of a worshipper's time to the exercise of the purely spiritual values, is the culmination of the physical, moral and spiritual discipline instituted by Islam. To carry such a discipline farther would be a sort of asceticism or monasticism which is not approved of in Islam.(11)
Prohibitions

Complete abstention from food and drink during the period of the fast does not constitute so great a hardship for a Muslim as adherents of other disciplines may be disposed to imagine. Muslim children are brought up in an atmosphere of respect for and devotion to the values indicated by the faith. Very early they begin to exhibit an eagerness to practise them. Parents have often to restrain young children from observing the fast. They are trained into endurance of the rigours of the fast through a gradual process, spread over a number of years. A child of twelve or thirteen may be permitted to observe the fast on three or four days at intervals during one Ramadhan. The following year, he may be permitted to increase the number to eight or ten. In the third year he may be content with fasting on each alternate days. In the fourth year, he would be ready to assume the full obligation.

Another very helpful factor is furnished by the dietary regulations of Islam. In the matter of food, the prohibitions are blood, the flesh of an animal that dies of itself and is slaughtered for food, the flesh of swine and the flesh of an animal on which the name of any other than Allah has been invoked, meaning thereby, sacrifices made to idols or other gods and offerings made to saints or to any being other than Allah.(12) The first three categories are prohibited because they are harmful for the body, and that which is harmful for the body is necessarily harmful for the spirit. The last prohibition relates to something which is manifestly harmful morally and spiritually in as much as it involves association of others with Allah.

A relaxation is made in the case of a person who is driven by necessity and to whom no other means of sustenance and nourishment is for the time available. Such a one may partake of a prohibited article of food, consuming only that much as he may consider necessary for his immediate need. In such instance, priority is given to the need of maintaining and sustaining life, as against the possibility of such harm, if any, as might result from the consumption of a minimum quantity of the forbidden article.(13)

Liquor and all intoxicants are forbidden. It is recognised that some people may derive some pleasure or advantage from the use of liquor or other prohibited article, but it is pointed out that the harm resulting from their use is far greater than any pleasure or advantage that might be derived from it.(14) The prohibition however is clear and absolute:

`O ye who believe, liquor, gambling, idols and divining arrows are only an abomination of Satan's handiwork. So shun each one of them that you may prosper. Satan's design is only to promote enmity and hatred between you through liquor and gambling and to keep you back from the remembrance of Allah and from Salat. Will you desist?'(15)

It needs to be remembered that in the matter of any pleasure or advantage to be derived from liquor or any other intoxicant, and the harm that may result from their use, it is, not only an individual or a class that has to be considered; society as a whole must be taken into account. It may well be that the harm resulting to an individual or to a number of individuals may not be overtly manifested, but there is no denying that society as a whole suffers grave harm from the use of liquor and other intoxicants. The purpose of the Quran is not only to furnish guidance for the individual, but to furnish guidance to the individual as a member of society and, indeed, to mankind as a whole.

These are the prohibitions, but not all that is permissible may be used as food and drink in all circumstances. Of that which is permissible, only that may be used as food and drink which is clean and wholesome.(16) This has a relative aspect also. Articles of food and drink over a wide range may be wholesome for a child or for an invalid. But even that which is permissible and is clean and wholesome may be partaken of only in moderation:

`Children of Adam, look to your adornment at every time and place of worship, and eat and drink but be not immoderate, surely, He loves not those who are immoderate.'(17)

Within these limitations, there is neither harm nor sin in eating and drinking of the good things provided by Allah out of His bounty, so long as the objective is that life may be sustained and health promoted for the purpose of carrying out Allah's will through firm faith in the guidance that He has sent down and action in conformity therewith.

`There is no harm for those who believe and work righteousness in respect of that which they eat, provided they are mindful of their duty to Allah and believe and work righteousness, are again mindful of their duty to Allah and carry it out to the uttermost. Allah loves those who carry out their duty to the uttermost.'(18)

Here, then is a gradation which is elastic and yet takes full account of the immediate as well as the ultimate purpose of food and drink. That which is harmful on the whole is forbidden altogether, except in the case of extreme necessity, when the preservation of human life must take precedence even at the risk of some, possibly only temporary, harm. The exemption or relaxation in such a situations is only in respect of the minimum quantity that would suffice for the immediate need. Under this restriction, the possibility of harm would be slight, and once the immediate need has been met, the prohibition would continue to operate.

Of that which is permissible only that which is clean and wholesome may be consumed as food and drink but only in moderation. That again is a relative matter to be determined with reference to the requirements of each individual and class.

Finally, not only the immediate purpose of food, drink, but also the ultimate purpose, namely the promotion of the moral and spiritual values must be kept in view.

Discipline and Righteousness

It will thus be appreciated that a Muslim's freedom in respect of food and drink, as indeed in respect of all matters is controlled by beneficent regulation, and is disciplined. During Ramadhan, the regulation and discipline become stricter in order to intensify the effort for the achievement of the ultimate purpose. That which is forbidden as being harmful, whether in the matter of food and drink or in respect of any other activity, is to be abstained from at all times. In the month of Ramadhan, there is to be abstention during the period of the fast even from that which is lawful and permissible; food and drink which sustain life, and marital intercourse which promotes the continuance of the species, the purpose being to win the pleasure of Allah. It also has a symbolic aspect. By observing the fast, the worshipper makes a pledge or covenant that if in the course of carrying out his duty of complete submission to the will of Allah, he should be called upon to put his life in jeopardy or to sacrifice the interests of his progeny, he would not hesitate to do so. Such a discipline practised through a whole month every year should ensure that the participant would, during the remaining eleven months of the year progressively achieve greater and greater adherence to moral and spiritual values.

It must never be overlooked that the whole of fasting, whether obligatory, as during the month of Ramadhan, or voluntary, as at other times, is to promote righteousness, which means the progressive cultivation of spiritual values. The same applies when the fast is observed as an expiation or a penalty. The spiritual recompense of proper observation of the fast is high indeed. The Holy Prophet, peace and blessings of Allah be upon him, has said:

`There are appropriate spiritual rewards for all worship and righteous action; the ultimate reward of the person who observes the fast solely for winning the pleasure of Allah is Allah Himself.'
Prayer

The month of Ramadhan is one of the months of the lunar calendar. It begins with the appearance of the new moon and ends with the next appearance of the new moon. As soon as the new moon of Ramadhan is sighted, a joyous surge of anticipation inspires the hearts of young and old. The season of closer communion with his Most Glorious, Ever Merciful, Most Compassionate, Most Forgiving Lord of the worlds, Originator, Creator, Fashioner and Maker, Master of the Day of Judgment, has opened and we have been accorded once more, by His Grace, the good fortune of witnessing it and the privilege of striving to enrich ourselves through the continuous opportunities it provides of seeking the pleasure of Allah. All praise to Allah for His unending bounties! Greetings and felicitations are exchanged all round. All is bustle and solemn preparation. Mosques begin to fill with eager worshippers for the Maghrib service to be followed after brief interval by Isha and then Taravih during the eight raka'as of which the congregation is privileged to listen to the recitation of the Holy Book from the very beginning to the end in proper sequence, evening after evening till, by the end of the month, the whole has been recited. The greater part of the night is passed in supplication and in precise, glorification and remembrance of Allah. Those who prefer to offer the eight raka'as of voluntary Prayer during the latter part of the night rather than in the evening as Taravih occupy themselves with it as the time approaches for a light breakfast in the solemn dawn hour. The Muezzin's Call to Prayer with its first Allaho Akbar, Allah is Great is the signal for the commencement of the fast and preparation for the Fajr Salat.

Thereafter the normal daily routine is followed with a heightened consciousness of the duty owned to Allah and to His creatures, one's fellow beings. Praise, glorification and remembrance of Allah form, as it were, the infrastructure of all activity and greater attention is directed towards caring for the poor, the needy, the widow, the orphan, the sick, the distressed, the neighbour, the wayfarer, etc. Courses on the Holy Quran are given in mosques and seminaries. Towards the close of the day the heart experiences a glow of gratitude to the Divine that His Grace has enabled one to approach the end of the fast having spent the night and the day in striving to conduct oneself in conformity to His will.

The Muezzin's Call to Prayer for the Maghrib Salat is the signal announcing the end of the fast, which is terminated with a mouthful of water, a cup of tea, a dried date or two, or even a pinch of salt should nothing else be immediately available and with the supplication:

`Allah, for thy sake I observed the fast putting my trust in Thee, and I have ended it with that which Thou has provided. Thirst is quenched and the arteries refreshed and I look for my recompense with Thee, if Thou should so will. I beg of Thee Allah, of Thy mercy that encompasseth all things, that Thou may be pleased to forgive me my sins.'

The Maghrib Salat follows within a few minutes and thereafter, the evening meal is partaken of. It is considered very meritorious to invite others, but more particularly the poor, the needy, the orphan to the breaking of the fast and the evening meal. These two need not be, however, separate occasions. A simple meal may be taken at the time of breaking the fast, thus preceding the Maghrib Salat. An elaborate meal designed as a compensation for the period of assentation is not only contrary to the spirit of the fast but tends to also upset the digestion. In this, the spirit of the fast is not respected and observed as strictly in certain part of Muslim would as could be wished.
Termination

The Isha service and Taravih complete the rhythm and tempo of daily life during Ramadhan. When the month beings to approach its end, the general mood is one of pensiveness which promotes eagerness to take full advantage of the remaining days to make up for any shortcomings and fallings off during the earlier periods. Numberless people experience closer communion with their Maker and Creator during this blessed month, the intensity and frequency of which continue to increase as the month progresses.

The fast terminates with the appearance of the new moon. The new moon may be visible after sunset of the twenty-ninth day of the fast, but if not the fast must be continued the next day, thus making a total of thirty days during the month. It may be that on the thirtieth evening, visibility may be very poor due to atmospheric conditions, and the moon may not be visible. That would make no difference and Ramadhan would terminate at sunset on that day, as it is recognised that a lunar month cannot extend beyond thirty days. The same rule governs the commencement of the month.

The day following the last day of Ramadhan, determined as above, is observed as the Festival of the termination of the fast. It is one of those occasions when even a voluntary fast may not be observed. In conformity with the spirit of Islam, the only celebration prescribed for the Festival is an additional service during the forenoon comprising two raka'as and an address by the Imam. The service may be held in one of the bigger mosques of a large city, but in view of the large numbers involved, is generally held in the open. It is customary, following the example of the Holy Prophet, peace and blessings of Allah be upon him, to take a light breakfast after sunrise before setting out for the service, and also to vary the route home on returning from the service.

The festive character of the occasion is proclaimed through exchange of visits, feeding the poor, visiting the sick and glorification of Allah and celebrating His praise in thankfulness to Him for the guidance provided by Him, particularly with regard to all that pertains to the observance of the fast, and for having enabled those upon whom the fast was obligatory to observe it duly.

Allah is Great, Allah is Great;
None is worthy of worship save Allah;
Allah is Great, Allah Is Great;
To Allah belongs all praise!


Rumah Ibadah Jangan Dijadikan Tempat Kampanye


Jakarta, 15/7 (Pinmas)--Dirjen Bimas Islam Prof. DR. Nasarudin Umar mengimbau para pemimpin partai politik agar tidak menggunakan rumah ibadah sebagai tempat kampanye, termasuk halaman masjid dijadikan arena untuk mengumpulkan massa partai.


Nasaruddin mengaku kendati hal itu sudah diatur dalam undang-undang pemilu namun dirasakan perlu untuk diingatkan kembali agar rumah ibadah terbebas dari berbagai kepentingan politik.

Pihaknya, kata Dirjen Bimas Islam, terus memantau apakah aparat Departemen Agama ikut dalam kegiatan politik praktis dalam kegiatan kampanye

"Pak menteri (M.Maftuh Basyuni, red) sudah menegaskan haram bagi aparatnya untuk melakukan kampanye. Apa lagi menggunakan atribut departemen," tegas Nasaruddin Umar.

Menurut dia, beberapa tahun lalu halaman masjid kerap dijadikan untuk mengumpulkan massa. Ke depan harus diluruskan bahwa halaman masjid atau rumah ibadah lainnya merupakan bagian dari rumah ibadah itu juga.

"Perlu dipahami, apakah masjid sama dengan halaman masjid. Misalnya masjid Istiqlal halamannya sering dijadikan tempat konsolidasi, begitu juga Masjid Al-Azhar tempat konsolidasi oleh bendera-bendera sosial dan politik. Nah, persoalannya ke depan perlu dirumuskan apakah masjid termasuk halamannya. Tapi kalau menurut saya, toh halaman itu menyangkut masjid," katanya meningatkan.

"Saya tak setuju masjid dijadikan tempat kampanye," tegasnya lagi.(ant/ts)